Hacker dan Cracker dalam Hotspot

Kini semakin banyak tempat yang menyediakan layanan koneksi internet secara gratis atau biasa disebut hotspot. Layanan ini dapat diakses dengan menggunakan notebook, PDA atau media lainnya. Zona hotspot yang terdapat di kampus dan pusat-pusat perbelanjaan pun tak pernah sepi dari penggunanya.

Biasanya pengguna hotspot memanfaatkan fasilitas ini untuk browsing internet, chatting, maupun download software dan MP3. Namun tak sedikit yang menggunakannya untuk 'iseng'. Area hotspot di sebuah pusat perbelanjaan di kota Semarang misalnya, banyak dimanfaatkan para hacker dan cracker
Hacker merupakan sebutan bagi sekelompok orang yang memberikan sumbangan bermanfaat untuk dunia jaringan dan sistem operasi serta membuat program bantuan untuk dunia jaringan dan komputer. Hacker juga istilah untuk menyebut perkerjaan yang dilakukan untuk mencari kelemahan suatu sistem dengan memberikan ide atau pendapat yang bisa memperbaiki kelemahan sistem yang ditemukannya.

Adapun Cracker adalah sebutan untuk orang yang sengaja mencari kelemahan sistem dan memasukinya untuk kepentingan pribadi dan mencari keuntungan dari sistem yang dimasuki seperti: pencurian data, penghapusan, dan banyak yang lainnya.

Beberapa pengguna hotspot yang mengaku menjadi hacker dan cracker mengungkapkan bahwa mereka hanya bermain-main dengan data-data perusahaan, tukar menukar software pirate, mencuri kartu kredit, melakukan hacking dengan menggunakan software trojan, nuke & DoS. Rata-rata mereka masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Tehnik Informatika dan Sistem Informasi.

Ketika ditanya, mereka mengaku menjadi hacker dan craker hanya sebagai hiburan saja. Sebagian waktu luang mereka digunakan untuk mengutak-atik data sebuah perusahaan bahkan ada yang secara 'iseng' menghapusnya. Entah apa motivasi mereka, sampai melakukan hal yang merugikan banyak pihak. Adanya fasilitas hotspot sangat membantu mereka untuk melakukan hal ilegal.

Umumnya para hacker dan cracker mengaku tidak takut dengan undang-undang Cyber Crime. Mereka boleh saja bersikap demikian, karena toh memang, belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat pelaku kejahatan di dunia cyber karena sulitnya pembuktian.

Selain itu belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan maya ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber di masyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan jelas yang harus dipatuhi dalam dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai Polisi Cyber.

Bagaimana dengan cyber crime di Indonesia, masihkah akan dibiarkan?

0 komentar:

Posting Komentar

BErIkAn LaCh KoMeNtAr YsNg SePaNtAsX y0oW.,.,